Sunday, September 13, 2015

Dilla went to Malay - Thai 2014: Between Kuala Lumpur and Bangkok

Being half day tourist in Malaysia

Tidur nyenyak semalam dipesembahkan oleh Durian Malaysia dan Chinese Food di kawasan Jalan Alor, Bukit Bintang. Kalau kata Oom Bondan Winarno, top markotop!


Setelah bersiap-siap, sarapan, dan check out, kami memutuskan untuk tidak jalan-jalan terlalu jauh supaya pesawat pukul 2 siang ke Bangkok terkejar oleh kami. Akhirnya kami sepakat untuk numpang foto di menara kembar Petronas, hahaha. Nggak terlalu istimewa, sepertinya, tetapi buat kami yang lagi reuni, justru kenorakkan ini yang kami tunggu-tunggu.

Untuk menuju menara kembar, kami hanya perlu naik fasilitas GO KL City Bus Free Service kemudian turun di KLCC. Asiiik. Gak sampai 15 menit, kami sudah bisa berdiri tegak di depan menara kembar tersebut! :)


Tadaaa! Zuper happy faces :D


Butuh isi energi setelah foto-foto dan berjalan kaki di sekitar menara kembar? Ada kuliner yang wajib dicoba di dekat menara kembar, yaitu Nasi Kandar Pelita. Yep, ini adalah nasi khas India – Melayu yang sangat terkenal di Malaysia, terutama dengan menu andalannya yaitu Nasi Briyani dengan Ayam Goreng Madu atau Kari Sotong. Jujur saja, kami yang sudah sarapan di hostel pun begitu mencium aroma makanannya langsung merasa lapar lagi, entah hanya sugesti atau lapar beneran. Dari depan menara kembar Petronas kami tinggal berjalan kaki ke kanan sejauh 300 meter, kemudian Restoran Nasi Kandar Pelita terlihat sudah menyambut kami dengan aroma karinya yang sangat sedap.

Adalah, saya bertemu orang Indonesia yang bekerja menjadi pelayan di Nasi Kandar Pelita! Ah, senangnya! Kali pertama kami sadar bahwa yang menghampiri kami adalah orang Indonesia adalah saat sang pelayan menyapa kami dengan “Mau pesan apa, Mbak?” Oh my God! Hehehe. Tadinya kami kikuk mau ngomong pakai bahasa Melayu ala ala, tapi beruntungnya kami disamperin pelayan Indonesia asli. :D

Kami memesan Nasi Briyani dan Kari Sotong, Nasi Briyani dan Ayam Goreng Madu, serta Roti Prata. Porsi yang gila untuk ukuran tiga perempuan berbadan biasa-biasa saja macam kami. Namanya lapar, Sis…

Sayang sekali, semua menu yang kami pesan sudah sukses masuk ke perut sebelum kami mengambil gambarnya. saya pribadi hanya bisa berkata… bahwa… di restoran inilah Nasi Briyani terenak yang pernah saya cicipi berada. A must visit culinary experience in Kuala Lumpur. Masalah harga, tidak begitu mahal, setara empat puluh ribu rupiah untuk seporsi Nasi Briyani (dengan porsi “badak” pastinya), buat yang budget travelling, masih bisa disiasati dengan satu porsi untuk berdua, kok!

Roti Prata-nya juga sukses buat saya jatuh cinta. Kayaknya Kari India terbaik yang pernah saya cicipi ya di Malaysia ini… nyam. Enak banget banget! Fiks saya cocok sama Kari bikinan orang India Malaysia. Maknyus!

Sudah memanjakan mata dengan pemandangan menara kembar, sudah isi amunisi dengan Nasi Briyani tersedap di Kuala Lumpur, kami bertolak ke KL Sentral naik GO KL kembali, kemudian melanjutkan perjalanan ke KLIA2 naik KL Transit.


Sawasdee, Bangkok!

Bangkok itu lebih gila dari Jakarta! Kira-kira itulah kesan pertama saya saat saat berinteraksi dengan segala sesuatu tentang Bangkok. Sukses mendarat pukul setengah empat waktu Bangkok, saya dan Genggong segera keluar bandara menuju halte bus terdekat untuk, paling tidak, bisa langsung bertanya-tanya dengan yang duduk-duduk disana mengenai kejelasan transportasi Bangkok yang absurd.

Kurang lebih empat puluh lima menit kami berjibaku dengan Mbak-mbak dan Mas-mas Bangkok untuk bertanya “Bagaimana caranya ke Khaosan Road?”. Susah banget, atau, kami yang tidak beruntung hari itu dipertemukan dengan yang nggak bisa bahasa Inggris. Dan yang kami takutkan pun terjadi: salah naik bus. Beruntung, saat kami salah naik bus, kami langsung diberi arahan oleh sang ibu kenek yang kalau dilihat dari gelagatnya sepertinya biasa bertemu turis asing yang nggak paham bahasa ibunya. Di halte berikutnya, kami turun.

Tapi, turunnya gak mulus.

Supir bus ngerem dengan cara yang nggak asik. Super mendadak, men. Eceu sampai jatuh terjerembab karena ulah sang supir bus. Perempuan segede-gede gini jatuh, ya, super tengsin lah.

Saya sampai pijit-pijit kepala di hari pertama sampai di Bangkok ini sambil bilang gini amat, sih hahahaha.

Di halte berikutnya, kami bertemu dengan pria baik hati yang bahasa Inggrisnya "mendingan" yang mau memberikan petunjuk untuk menuju Khaosan Road. Tapi sayang, saya lupa namanya (kamu bisa bayangkan nama orang Thai yang menurut Indonesian susah dilafalkan). Ganteng sih, hahaha (gak fokus). Sebut saja Mister Ganteng. Mister Ganteng bahasa Inggrisnya lumayan, paling tidak dia paham apa yang saya dan Genggong maksud. Kami ditemani naik bus sampai Victory Monument dan diberi tahu dengan clear bus nomor berapa yang harus kami tumpangi selanjutnya. Di perjalanan, saya sedikit  mengobrol dengan Mister Ganteng, bertanya “kuliah dimana” kemudian dijawab “saya sudah bekerja”. Whoops, salah! Ya, memang sih, orang Thailand itu wajahnya baby face. Nggak cewek, nggak cowok, sama-sama imut. Dipikir masih kuliah, gak tahunya sudah bekerja.

Pukul delapan malam kami sampai Khaosan Road; salah satu pusat hip hip huranya Bangkok. Meskipun demikian, “Khaosan” sendiri berarti “lumbung beras” yang dulunya dikenal sebagai pasar beras di Bangkok. Khaosan Road dipenuhi dengan Bar, diskotik, tattoo art space, tempat pijat, dan berbagai tempat hanging out lainnya. Disini juga banyak dijual kaos-kaos band, merk minuman beralkohol, dan juga kaos ikonik Thailand bergambarkan gajah. 

Kami langsung berjalan kaki menyusuri Khaosan Road, dimana para turis “baru” mulai keluar dari sarangnya untuk bersenang-senang. Mungkin agak awkward juga, sih, turis-turis disana melihat gadis berkerudung melintasi Khaosan Road di malam hari kayak begini. :D

Sambil menikmati pemandangan malam Khaosan, kami mengarahkan perjalanan kami ke Sawasdee Banglumpoo Inn, hotel bintang dua yang menurut website Air Asia Go lumayan lah fasilitasnya (saya bingung ini pesen hotel gratis tiket pesawat atau sebaliknya). Letaknya di belakang Khaosan Road, jadi kami harus melewat gang sepanjang kurang lebih 200 meter-an untuk dapat menemui Sawasdee Banglumpoo Inn. Sukses check in, super gembira akhirnya ketemu kasur juga. Sayang tapi sayang, hotel tidak menyediakan WiFi gratisan. Kalau mau WiFi-an, kita harus “beli” password seharga 50 baht per 6 jam atau 100 baht per 24 jam.
*ternyata tidak segratis itu*

Pengalaman gila hari ini masih belum segila pengalaman hari kedua dan ketiga, yang bakal saya paparkan pada postingan berikutnya. Stay tuned!


Thursday, September 10, 2015

Dilla went to Malay - Thai 2014: A kind central government called Putrajaya

Ternyata mencoba menggali-gali memori membutuhkan tenaga yang ekstra yah…

Mohon maaf atas keterbatasan dokumentasi pada setiap tulisan saya, karena laptop nge-blog beda sama laptop backup *gaya*. Kalau fotonya sudah ketemu, pasti saya update di blog!

Setelah drama paspor beres, saya sudah bisa fokus mempersiapkan perintilan jalan-jalan serta membereskan outstanding pekerjaan kantor yang, mungkin saja, gak bisa di-hand over ke teman setim. Outstanding pekerjaan kantor menjadi hal yang mandatory karena, seminggu sebelum berangkat, saya mendapat ancaman dari Pak Bos: kalau assignment yang diberikan ke saya belum selesai, form cuti saya ditolak! Which means, kalau sampai ditolak, gagal deh impian saya buat cuti panjang dan backpacking keluar negeri, berhubung ini adalah kali pertama keluar Indonesia setelah hampir 22 tahun “betah” di negara sendiri.

Setelah struggling selama kurang lebih dua minggu ngelembur di kantor, pulang minimal jam 10 malam (sehari sebelum berangkat pulang jam setengah 12 bahkan!), akhirnya semua assignment beres dan bisa berangkat dengan tenang. Walaupun hanya dapat jatah tidur malam 3 jam karena harus mengejar pesawat ke Kuala Lumpur pukul 6 pagi, gak apa-apa deh.

Saya berangkat dari kost-an di daerah Kebagusan pukul setengah 3 pagi. Kok pagi banget? iya, kata teman-teman yang hobi melancong, Tol Lingkar Luar Barat justru macetnya saat pagi-pagi buta. Jadi saya percaya-percaya aja sama mereka, meskipun ternyata Tol Lingkar Luar Barat kosong melompong dan waktu tempuh Kebagusan-Bandara Soekarno Hatta hanya dua puluh lima menit! Yah mendingan kecepetan, sih, daripada terlambat. Lumayan, saya punya waktu luang untuk charge handphone, beli minuman yang hangat-hangat dan tidur ayam di JCO Terminal 3.

Ini adalah kali pertama saya keluar Indonesia setelah hampir 22 tahun, sendirian. Jadi, kebayang, kan, experience ke-kikuk-kan saya pas melewati petugas imigrasi, even itu adalah petugas imigrasi di Negara saya sendiri. Tetap saya saat melewatinya, tangan dingin nggak karuan takut gak diizinkan keluar dari Indonesia… lebay. Tapi yeay Alhamdulillah, saya sukses melewati pemeriksaan petugas imigrasi! Petugas memberikan cap di paspor saya dan Voila! Secara dokumen, saya dinyatakan sudah keluar dari Indonesia.

Saya memang sengaja memesan tiket pesawat Jakarta-Kuala Lumpur dan Kuala Lumpur-Bangkok. Berhubung experience keluar negeri saya yang super terbatas, maka ketika ada kesempatannya saya gunakan momen ini untuk jalan-jalan ke dua negara sekaligus. Saya super penasaran sama daerah Putrajaya di Malaysia, yang merupakan pusat pemerintahan negara Malaysia. Lihat review di blog teman, Putrajaya merupakan daerah yang jauh dari pusat kota Kuala Lumpur, lebih dekat dengan KLIA2 jika ditempuh dengan kereta cepat KLIA Express atau KLIA Transit. Kotanya bersih, tertib dan sudah dilengkapi dengan fasilitas transportasi yang sangat Mumpuni. Mesjidnya aja bagus banget…

Mesjid Putra nan cantik, terletak di Kawasan Putrajaya, Malaysia.



Kenapa sih penasaran? Karena saya ingin melihat langsung bagaimana kondisi pusat pemerintahan sebuah negara yang letaknya bukan di Ibukota negara. Sesimpel itu keinginan saya. Karena seperti yang kita tahu bahwa Indonesia berpusat pemerintahan di Jakarta, sama dengan Ibukota negaranya. Ya bukannya nggak mungkin, kan, jika pusat pemerintahan Indonesia dipindahkan, mengingat Jakarta sudah sangat sumpek karena bukan hanya pusat pemerintahan, tapi juga pusat perdagangan dan pusat industrinya Indonesia.

Kalau untuk objek wisata lainnya, entah kenapa, saya gak begitu tertarik, hehehe. Saya lebih penasaran dengan kuliner Malaysia ketimbang objek wisatanya. Penasaran lainnya yang harus dijawab di Malaysia adalah mencicipi Nasi Briyani asli bikinan India Malay, plus durian Malaysia yang katanya nikmat banget itu.

Perjalanan Jakarta – Kuala Lumpur memakan waktu kurang lebih satu setengah jam. Saya sampai di Kuala Lumpur International Airport 2 (KLIA2) pukul 08.30 waktu Kuala Lumpur. Lagi-lagi saya mau menceritakan kenorakkan saya saat mampir ke Bandara negara lain. It is a huge airport, I think. Mungkin karena terminal-terminal keberangkatan di Bandara KLIA2 tidak terpisah-pisah bangunannya seperti di Indonesia ya. Jadi pesawatnya pada “parkir” di sepanjang bangunan KLIA2, berikut gambarnya:

Ilustrasi KLIA 2. Mantep ya.

Selebihnya saya gak begitu norak, sebab kalau saya bercerita KLIA2 dipenuhi oleh toko oleh-oleh, dimana-mana juga seperti itu, sih. Hehehe. Tetapi saya akui KLIA2 adalah bandara yang bersih, nyaman, tertib dan berfasilitas lengkap.

Selesai lolos petugas imigrasi Malaysia, saya langsung mencari loket pembelian tiket KLIA Transit di sekitar Bandara, yang ternyata tidak perlu keluar Bandara untuk mendapatkannya. Untuk pemberhentian Cyberjaya-Putrajaya, ongkos yang dibebani adalah 6.2 Ringgit atau sekitar 24 ribu rupiah. Cukup mahal, sih, kalau kita bandingkan dengan ongkos Commuterline di Jakarta. Tapi harga tersebut terbayar dengan fasilitas WiFi-nya (you know your life will definitely depend on WiFi connection once you go abroad) dan kenyamanan kereta itu sendiri. No gontok-gontokan kayak di Gerbang Wanita Commuterline! Hehehe..

Suasana di dalam KL Transit. Nyaman sekali...

Waktu menunjukkan pukul 09.00 waktu KL, sementara saya berencana naik KL Transit pukul 09.12. Ah, ternyata KL Transit yang saya inginkan sudah “ngetem” di jalurnya. Karena transportasi di KL ini tepat waktu, maka saya nggak mau ambil resiko untuk bersantai ria. Saya langsung naik dan cari tempat duduk asyik menghadap ke jendela sembari mencari informasi mengenai transportasi buat muter-muter di Putrajaya nanti. Awalnya ekspektasi saya sama pemandangan Malaysia tuh tinggi banget! semacam bisa sight-seeing gitu lah. Tapi ternyata pemandangan KLIA2-Putrajaya gak seindah yang saya bayangkan karena yang menghampar hanyalah perkebunan sawit dan kebun apalah itu, saya juga gak tahu. Yang jelas, gak begitu menarik. Sehingga saya memutuskan untuk menunduk dan memilih bercengkrama dengan handphone kesayangan, lagi-lagi untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang Putrajaya.

Sekitar 15 menit kemudian, KLIA Transit yang saya naiki tiba di Cyberjaya-Putrajaya. Kesan pertama turun di stasiun Cyberjaya-Putrajaya: SEPI. Ini pusat pemerintahan beneran, kan? lagi-lagi ekspektasi saya meleset. Nggak selalu yang namanya pusat pemerintahan itu ramai, Kodil. Dari stasiun, saya agak lama mencari informasi mengenai nomor bus yang harus saya naiki untuk mencapai Masjid Putra, ternyata pagi-pagi begitu pusat informasi turisnya belum buka… yasudahlah, toh masih serumpun jugak, kan, sama Malaysia, saya tanya-tanya saja sama orang sekitar pakai bahasa Indonesia. Setelah bercakap-cakap dengan bahasa gado-gado, diketahui bahwa saya harus naik bus L11 Jurusan Putrajaya Sentral-Precint 4, 3, 2 dan turun di halte Masjid Putra. Akhirnya!

Dari halte, saya masih harus berjalan melewati taman yang luas untuk bisa sampai di Mesjid Putra… hmmm. Jauh sih… tapi saya sangat menikmati pemandangan disini. Tamannya bersih banget dan super terawat! Walaupun cuaca pagi-pagi di Malaysia aja udah panas banget, tapi tetep nikmat rasanya kalau dikelilingi sama taman cantik disini.

Taman yang mesti dilintasi jika mengarah ke Mesjid Putra.


Sebentar lagi sampai...


Masjid Putra dari kejauhan.


Panoramic picture of Masjid Putra.


Waktu menunjukkan pukul 11.00 ketika sampai di Masjid Putra. saya langsung masuk ke area masjid untuk berteduh sekalian shalat Dzuhur.

Ada hal yang sedikit memalukan buat saya pribadi sebagai seorang Muslimah.

Untuk memasuki komplek Mesjid Putra, wanita dan pria yang terlihat auratnya wajib menggunakan jubah yang dipinjamkan secara cuma-cuma di sebelah kiri pintu masuk Mesjid. Saya sih cuek aja masuk, pikir saya, saya juga sudah pakai pakaian tertutup (celana jeans dan kaos lengan panjang) dan jilbab kan. ternyata, beberapa detik setelah “nyelonong” masuk, saya kena tegur petugas Mesjid! Intinya, Bapak yang baik itu berkata seperti ini…

“Kak, mohon maaf… menggunakan celana ketat tidak diijinkan disini. Sehingga Kakak wajib menggunakan jubah untuk menutupi aurat Kakak…”

Hiks. Bapak benar, Pak. Saya saja yang masih bandel pakai jeans kayak begini.

Sambil tersenyum kecut menyebalkan saking malunya, saya gunakan jubah merah ala ala pelajar di Hogwarts. Dan, langsung selfie pake tongsis andalan.

Dekil. Kepanasan.






Saya jatuh cinta pada pandangan pertama dengan arsitektur Mesjid Putra, terutama untuk bagian dalam mesjidnya. Subhanallah, berulang kali saya mengucap syukur saat melihat keindahan Rumah Allah yang juga “dicap” sebagai salah satu masjid tercantik di Malaysia ini. Indah sekali…

Selesai shalat Dzuhur dan memanjakan mata, saya memutuskan untuk kembali ke Stasiun Cyberjaya-Putrajaya untuk naik KL Transit ke KL Sentral. Waktu tempuhnya hanya 20 menit. KL Sentral merupakan stasiun kereta api sentral di Kuala Lumpur, Malaysia, yang dipersiapkan sebagai hub (pangkalan) beberapa moda transportasi (Wikipedia). Dari KL Sentral, saya bisa nge-mall dulu karena ada mall disana, atau langsung menuju hostel menggunakan transportasi monorail.

Karena sudah cukup lelah panas-panasan, sepertinya pilihan terbaik adalah langsung menuju hostel dan beristirahat serta ketemuan sama Mel yang sudah check in duluan. Hostel yang akan saya inapi, KL Sunshine Bedz, terletak di pusat kota Kuala Lumpur, Bukit Bintang. Dari KL Sentral cukup dengan naik Monorail menuju Stasiun Bukit Bintang kemudian jalan kaki kira-kira 100 meter dari Stasiun ke arah McDonald’s Bukit Bintang, setelah itu sampai deh! KL Sushine Bedz terletak tepat di sebelah McDonald’s Bukit Bintang. Bagi teman-teman yang berencana backpacking dan menginap di Hostel, saya sangat merekomendasikan tempat ini karena fasilitasnya yang OKE banget. kamu sudah dapat handuk gratis, WiFi sepuasnya gratis dan sarapan gratis pula! Kalau nggak salah, sih, per malamnya hanya 150 ribu an kok, sangat murah untuk ukuran Hostel dengan fasilitas memadai dan berada di pusat kota.


Sesampai di KL Sunshine Bedz, saya langsung selonjoran asik dan ngobrol sama Mel si penggagas jalan-jalan sambil nungguin Eceu yang sedang melewati perjalanan darat dari Batam ke Kuala Lumpur.


Hari pertama di Putrajaya dan Kuala Lumpur mungkin adalah perjalanan yang tidak begitu istimewa, namun sadar nggak sadar banyak sentilan-sentilan yang Allah kasih ke saya di hari pertama ini. Diingatkan… supaya terus bersyukur.


Sampai jumpa di postingan hari kedua: Kuala Lumpur – Bangkok!


Thursday, September 3, 2015

Ritme Menulis yang Terlalu Cepat

Pernah ngerasa gitu, nggak, bagi teman-teman penulis pemula?

Saya lagi merasa seperti itu sih, merasa kalau ritme menulis saya terlalu cepat. Saya kurang bisa mendeskripsikan keadaan seperti actualnya. Jadi jatuhnya menulis seperti kejar setoran.

Padahal, kalau baca blog, sepertinya poin penting dari, kenapa sih tulisan dia enak dibaca? Itu ternyata karena penulis-penulis kece itu mampu mendeskripsikan detail kejadiannya, perasaannya dan materi topik yang sedang mereka coba untuk paparkan.

Mari kita eksplor lagi mengenai ritme tulisan dan gaya menulis sesuai karakter (yang terakhir tambahan).

Have a good day, Everyone!